GUS - HABIB Bukan Tokoh Sentral Di Sumatera, ini kata Asad Isma
Duka Mendalam Atas Berpulangnya Rektor UIN STS Jambi, Prof. Dr. Asad, M.Pd--
Penulis : Ali Fauzi (Direktur JambiTV/ Direktur Jambi Independent)
JAMBI, JAMBITV.CO - Saya merasa bersalah dengan Prof Dr Asad Isma, yang meninggal Sabtu (28/8) pkl 14.00. Rektor UIN Sultan Thaha Syaifuddin (STS) Jambi ini terakhir kirim youtube ke saya pada Senin (23/9), sekitar pukul 23.00. Tapi belum sempat saya baca, Asad sudah meninggalkan kita. Isi youtubenya tentang kegiatan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di kampus UIN.
Sejak akhir Juli lalu, almarhum sering kirim WA dan youtube ke saya. Di sela-sela kiriman WA dan youtube itu, saya tanya mengapa Nahdlatul Ulama (NU) cenderung lebih berkembang di Jawa, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Sementara di luar Jawa yang lebih berkembang Muhammadiyah. Tanya demikian karena saya tahu dia aktivis NU. Bahkan dia pernah menjadi Ketua DPW Ansor Jambi.
Menurut almarhum, hal itu karena pengaruh kuat budaya. NU dengan segala tradisinya lahir dan tumbuh dari budaya Jawa yang kental. Sedangkan di Sumatera, terutama karena persebaran masyarakat suku Minang dengan gerakannya yang puritan dan anti-TBC-- menjadi penghalang berkembangnya NU. TBC dimaksud adalah takhayyul, bid'ah dan Churafat –slogan yang dibawa Muhammadiyah dalam upaya pemurnian ajaran Islam.
“Tapi ingat Mas Ali, NU di Sumatera berkembang di pelosok-pelosok, bukan di perkotaan,” ujarnya. Di Jambi, tambahnya, terutama kawasan-kawasan yang didiami etnik Banjar dan Bugis seperti Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat, kultur NU-nya kokoh.
BACA JUGA:Rektor UIN STS Jambi Prof. As’Ad Isma Tutup Usia
Diskusi dengan almarhum Asad Isma lantas melebar ke masalah HABIB (keturunan Nabi Muhammad SAW), dan GUS (panggilan untuk putra kyai pemilik/pengasuh pondok pesantren) di kalangan NU. Tentang HABIB sendiri memang hanya ada di NU yang polemiknya hingga kini belum ada ujungnya. Dalam tradisi NU di Jawa, baik HABIB maupun GUS hingga kini masih dianggap sebagai tokoh sentral dalam pergaulan sosial.
Sedangkan di luar Jawa, terutama di Sumatera, baik Habib maupun Gus tidak dijadikan tokoh sentral dalam pergaulan sosial. “Masyarakat Sumatera itu cenderung egaliter. Mereka mengutamakan kesetaraan dalam pergaulan sosial. Karena itu masyarakat Sumatera tidak menjadikan Habib dan Gus sebagai tokoh sentral,” papar almarhum.
Saya dekat dengan almarhum terutama ketika saya masih mengelola langsung koran Jambi Independent, Jambi, tahun 2008-an. Sering ngobrol bareng. Tema obrolan tak jauh-jauh dari kondisi sosial-politik dan keagamaan, terutama di Jambi. Saat itu dia sebagai dosen. Juga sebagai Ketua DPW Ansor Jambi. Komunikasi lantas putus, kemudian tersambung kembali terutama sejak Juli kemarin itu.
Kala di Jambi, almarhum pernah mengucapkan rasa simpati ke saya. Saat itu, Gubernur Jambi langganan semua koran saya di lingkungan Pemprov Jambi distop. Hanya karena ada berita yang membuat kuping gubernur merah. “Kalau memang menganggap berita di Jambi Independent itu salah, mestinya gubernur pakai hak jawab. Itu peraturannya. Bukan dengan menyetop semua koran yang selama ini dilanggani pemprov. Semangat terus Pak Ali,” ujarnya lewat telepon, saat itu.
Sejak pindah tugas dari Jambi, saya tak pernah lagi bersua dengan almarhum. Juli kemarin saat di Jambi, saya kontak almarhum. Untuk ngopi bareng. “Memangnya Mas Ali di mana sekarang?,” jawab dia melalui WA. Sepertinya dia kaget. Saya jawab ada di Jambi. “Wah …., maaf nian Mas, sayo lagi di Jakarta,” jawabnya.
Sejak Juli itu pula almarhum kerap kirim WA dan youtube tentang kegiatannya sebagai Rektor UIN. Sampai-sampai kiriman youtube terakhirnya itu saya merasa bersalah. Selamat jalan sahabat. Ya Alloh, ampunilah almarhum, berilah dia rahmat-Mu, dan tempatkanlah dia di surga-Mu. Amiiin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: