Tenaga Ahli Lingkungan Unja Prof. Aswandi Sebut JBC Bukan Biang Banjir Tapi Karena Drainase yang Buruk

Tenaga Ahli Lingkungan Unja Prof. Aswandi Sebut JBC Bukan Biang Banjir Tapi Karena Drainase yang Buruk--Jambitv.co
KOTAJAMBI, JAMBITV.CO – Banjir yang kembali terjadi di kawasan Simpang Mayang, tepatnya di depan Jambi Business Center (JBC), mendapat sorotan dari Tenaga Ahli Lingkungan Universitas Jambi, Prof. Aswandi. Menurutnya, persoalan banjir di kawasan tersebut terjadi bukan semata karena curah hujan tinggi, tetapi lebih kepada sistem kanal dan drainase yang sudah tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini.
"Saluran kanal yang ada saat ini merupakan kanal lama. Pada masa pembuatannya, belum ada kajian atau perhitungan hidrologi yang memperhitungkan tingginya curah hujan dalam jangka waktu panjang," ujar Prof. Aswandi. Ia menegaskan bahwa dalam merancang sistem drainase dan kanal, seharusnya pemerintah kota menggunakan acuan perhitungan hidrologi berdasarkan periode ulang, seperti periode 5 tahunan, 10 tahunan, bahkan 25 tahunan.
Perhitungan hidrologi jangka panjang adalah pendekatan ilmiah yang memperkirakan seberapa besar volume air hujan yang akan turun dalam kurun waktu tertentu berdasarkan data historis. Dengan perhitungan ini, perencana kota dapat menentukan kapasitas saluran drainase dan kolam retensi yang memadai untuk menampung air hujan ekstrem. Misalnya, untuk curah hujan dengan periode ulang 25 tahun, sistem drainase harus mampu menampung air dari kejadian hujan yang hanya terjadi sekali dalam 25 tahun, tetapi dengan volume yang sangat besar.
BACA JUGA:Atasi Masalah Banjir, JBC dan Pemkot Jambi Desain Ulang Kolam Retensi
"Jika pendekatan ini dilakukan sejak awal, maka saat hujan deras dengan intensitas tinggi terjadi, saluran dan kolam penampungan sudah siap menampung debit air. Dengan begitu, banjir bisa dicegah secara signifikan," tambah Prof. Aswandi.
Melihat kondisi saluran yang ada saat ini yang tidak lagi ideal, Prof. Aswandi menekankan bahwa pemerintah kota harus segera membenahi infrastruktur drainase dan kanal. Pembenahan ini penting agar sistem pengendalian banjir menjadi lebih efektif, adaptif terhadap perubahan iklim, serta mampu mengantisipasi hujan berintensitas tinggi di masa mendatang.
Selain kanal, Prof. Aswandi juga menyoroti fungsi kolam retensi yang dimiliki oleh pihak JBC. Menurutnya, kolam retensi merupakan komponen penting dalam manajemen air perkotaan. Fungsinya adalah untuk menampung limpasan air hujan dari suatu kawasan sebelum dilepaskan secara perlahan ke sistem drainase kota.
"Kolam retensi JBC memiliki tanggung jawab untuk menampung air hujan dari kawasan JBC yang luasnya sekitar 7 hektar. Seharusnya kolam ini difungsikan secara eksklusif untuk menangani limpasan dari area tersebut saja, bukan sebagai bagian dari saluran umum milik pemerintah kota," jelasnya.
Ia menyarankan agar kolam retensi milik JBC dipisahkan fungsinya dari sistem drainase kota, agar tidak terjadi overload atau kelebihan kapasitas saat hujan deras. Jika tidak dipisahkan, maka sistem bisa kolaps akibat beban ganda—yakni dari kawasan JBC dan limpasan air dari wilayah sekitarnya.
Menurut analisis lingkungan, banjir terjadi ketika volume air hujan yang jatuh tidak dapat diserap oleh tanah (infiltrasi rendah), dan tidak tertampung oleh sistem drainase yang ada. Selain itu, sedimentasi di dalam kanal, sampah yang menyumbat saluran, dan desain drainase yang tidak mengikuti perhitungan hidrologi juga menjadi penyebab utama.
"Banjir bukan semata bencana alam, tapi lebih kepada kegagalan sistem tata kelola lingkungan. Maka, perlu adanya audit menyeluruh terhadap saluran drainase, kapasitas kanal, dan fungsi kolam retensi di seluruh kota Jambi," pungkas Prof. Aswandi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: