Menilik Persoalan Batu Bara Antara ‘Bilang Benci Tetapi Cinta’, Indonesia Produsen Terbesar ke 3 di Dunia

Selasa 14-05-2024,09:16 WIB
Reporter : Ade Putra
Editor : Ade Putra

Jambitv.co, Nusantara – Persoalan batu bara tidak hanya merebak di Provinsi Jambi, tetapi juga menjadi perhatian para pemimpin Indonesia. Bagaimana tidak, upaya menghentikan dampak lingkungan dan sosial akibat tambang batu bara ternyata tidak seiring dengan realita kebutuhan Negara dan masyarakat. Bahkan seorang pengamat Komaidi Notonegoro yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Reforminer Institute menyebut, persoalan batu bara di Indonesia berada diantara Benci dan Cinta.

Dikutip dalam tayangan diskusi IDX Channel Youtube dalam program Market Review, Komaidi membeberkan rumitnya persoalan batu bara di Indonesia. Pasalnya ditengah upaya Pemerintah berkeinginan melakukan transisi energi hijau, di sisi lain target tonase produksi batu bara di tahun 2024 justru mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun lalu menjadi 922,14 juta ton.

Bahkan saat ini Indonesia masih menjadi produsen batu bara terbesar nomor 3 di dunia, sebagaimana data yang dirilis internasional energi agensi pada tahun 2023. Produksi batu bara Indonesia mencapai 725 juta ton atau sebesar 8,3% dari total produksi batu bara dunia. Dengan demikian Indonesia menjadi negara penghasil batu bara ketiga terbesar di dunia di bawah Cina yang mencapai 4,43 miliar dan India yang 1,03 miliar ton.

BACA JUGA:Kapal Tongkang Batu Bara Tabrak Jembatan Aurduri 1, Besi Penyangga Patah dan Tenggelam

Komaidi Notonegoro mengatakan, pasokan listrik Indonesia saat ini 75 % dari PLTU. Sedangkan PLTU ini sumber energinya dari batu bara. Artinya tidak mungkin kita mematikan PLTU karena kebutuhan dasar listrik masyarakat di seluruh Indonesia. Hal ini akan berdampak secara teknis dan juga fiskal bagi negara Indonesia.

“Misalnya kalau dari listrik gitu Mas 70 sampai 75% Listrik kita kan dari PLTU ya, jadi bagaimana mungkin kita mau suntik mati PLTU. Begitu 75% dihasilkan dari sana kemudian itu mau disuntik mati, berarti ada beberapa hal yang terjadi, pertama masalah teknis dan yang kedua masalah fiskal,” papar Komaidi.

Kenapa masih menggunakan batu bara sebagai sumber energi, menurut Komaidi karena memang biaya produksi listrik menggunakan batu bara sangat murah. Jika sumber energinya diganti maka akan berdampak pada kenaikan biaya produksi listrik. Akibatnya, masyarakat akan dibebani dengan kenaikan Tarif Dasar Listrik se-Indonesia. 

BACA JUGA:Warga Takut Jembatan Aurduri 1 Roboh Pasca Ditabrak Tongkang Batu Bara, Warga Minta Buatkan Jembatan Duplikat

“Batu bara kan yang paling murah dibandingkan yang lain, mungkin kisarannya antara 600-700 rupiah per KWH. Sementara kalau yang lainkan average sudah di atas 1.000, bahkan BPP listrik nasional kan secara total di atas 1.000, artinya memang yang paling murah. Nah ketika yang paling murah itu akan diganti, berarti ada resiko inflasi atau kenaikan tarif dasar listrik. Nah ini siap atau tidak masyarakat,” tegas Komaidi.

Komaidi juga menjelaskan dampak pendapatan negara yang menurun drastis. Indonesia sebagai negara produsen ketiga terbesar di dunia menghasilkan lebih dari 700 juta ton pertahun. 200 juta ton digunakan untuk kebutuhan dalam negeri, sisanya 500 juta ton untuk ekspor menambah devisa negara. 

BACA JUGA:Jembatan Aurduri 1 Ditabrak Tongkang Batu Bara, 3 Jalur Menuju Jembatan Macet Parah

“Faktanya kita masih butuh baik di dalam pasokan listrik maupun butuh untuk penerimaan APBN. Sebagian besar itu kan diekspor, jadi produksi kita kan 700 sekian, kemudian konsumsi dalam negeri kan masih di bawah 200. Sebagian besar untuk listrik, artinya kalau produksi 700 konsumsi dikisaran 200 maka ada 500 juta ton yang digunakan ekspor untuk memperoleh devisa atau untuk keuangan negara,” jelas Komaidi.

“Artinya ada inkonsistensi antara kampanye kita yang seolah-olah mengharamkan batubara, tetapi di sisi lain kita masih sangat butuh. Jadi kayaknya bilang Benci Tapi sebetulnya cinta,” tandasnya.

Kategori :