Kemudian False Dichotomy. Narasi sesat yang memojokkan seseorang bahwa pilihan itu hanya ada dua. Tidak ada pilihan lain selain dua itu. Padahal ada banyak pilihan lain yang tersedia. Misalnya: ‘Kamu mendukung kebijakan pemerintah ini atau kamu anti-pemerintah?’
Yang terakhir adalah Appeal to Authority (Argumentum ad Verecundiam). Narasi sesat ini membangun kebenaran argumen hanya karena disampaikan oleh figur otoritas, tanpa mempertimbangkan validitas argumen itu sendiri. Misalnya: ‘Teori konspirasi ini pasti benar karena seorang profesor di universitas ternama juga mendukungnya.’
Memahami jenis-jenis sesat pikir ini bisa membantu kita lebih kritis dalam menyaring narasi, terutama di media sosial. Dengan mengenali polanya, kita tidak akan mudah terjebak dalam narasi yang menyesatkan dan bisa berargumen dengan lebih logis.
Keempat konten di atas; miscaption, deepfake, ajakan palsu dan narasi sesat pikir, apabila diterima secara bersamaan atau dalam rentang yang tidak terlalu jauh waktunya, maka akan saling menguatkan. Karena miscaption menyalakan emosi, deepfake menghantam kepercayaan pada otoritas, ajakan palsu akan menggerakkan kerumunan ke titik rawan, sedangkan narasi sesat pikir diproduksi untuk memanipulasi atau menyesatkan masyarakat dalam alam pikirnya.
Tugas Pemerintah
Masyarakat pengguna atau yang terpapar konten hoaks tentu tidak memiliki kemampuan yang sama dalam melakukan verifikasi. Apalagi masyarakat dengan latar pendidikan yang tidak tinggi. Dan itu mayoritas di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus hadir untuk melakukan penjernihan hoaks.
Negara harus membentuk command room satu atap yang bertugas melakukan analitik disinformasi, dan merespon dengan cepat dalam hitungan menit untuk menyampaikan bahwa konten tersebut hoaks, deepfake atau ajakan palsu. Command room ini bisa dikomando oleh Kementerian Informasi, dengan melibatkan semua perangkat atau instansi yang berkaitan dengan cyber.
Tugasnya jelas: deteksi real-time miscaption, deepfake, ajakan palsu, narasi sesat pikir dan amplifikasinya. Jangan biarkan konten tersebut menyebar dengan cepat, tanpa verifikasi, atau tanpa counter atau tanpa ulasan yang menjelaskan bahwa itu hoaks atau berbahaya bagi masyarakat.
Penjelasan atau counter tersebut disiarkan serentak di media mainstream TV, Radio dan media online, serta di kanal medsos YouTube, Facebook, TikTok, Instagram dan Tiktok serta broadcast WA.
Dalam situasi gejolak atau genting, harus dilakukan jumpa pers harian atau update per waktu, mengenai situasi terkini, termasuk klarifikasi informasi hoaks yang beredar di medsos. Waktu respon ini harus secepatnya. Bukan menunggu hari esok. Tapi realtime setelah didapatkan bukti bahwa konten tersebut hoaks, deepfake dan sejenisnya.
Karena dalam ekologi digital yang berkecepatan tinggi, kecepatan klarifikasi menjadi salah satu indikator kunci. Studi Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia tahun 2024, mencatat rata-rata warganet Indonesia menghabiskan 3 jam 6 menit per hari di media sosial, dengan 167 juta pengguna aktif.
Dalam konteks kerusuhan 2025, kita bisa mengambil pelajaran, secepat apa pemerintah melakukan debunking alias tindakan membongkar dan menunjukkan bahwa suatu informasi itu hoaks, deepfake dan sejenisnya, dengan menyajikan bukti-bukti yang terverifikasi. Sehingga hoaks yang menjadi viral tersebut akan teredam dengan sendirinya, dan tidak laku di jari masyarakat yang terbiasa memforward konten. (*)
(Penulis adalah Ketua Dewan Pembina Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Pusat, dan Guru Besar Universitas Negeri Makassar dan Wakil Rektor Universitas Jayabaya Jakarta)