Perahu Lajur Warisan Budaya Jambi: Koleksi Museum Siginjai yang Simpan Teknologi Tradisional Tanpa Sambungan

Senin 01-12-2025,14:14 WIB
Reporter : QOWI YATUL SHOLIYAH
Editor : Suci Mahayanti

KOTAJAMBI, JAMBITV.CO — Museum Siginjai kembali menjadi pusat perhatian bagi pengunjung yang ingin melihat langsung warisan budaya Jambi, terutama koleksi-koleksi tradisional yang menggambarkan kehidupan masyarakat di masa lampau. Dari total 7.893 koleksi yang tersimpan di museum, satu di antaranya menonjol karena ukuran, teknik pembuatan, dan nilai budayanya yang unik: perahu lajur sepanjang 15 meter yang dipajang di teras museum. Perahu ini tidak hanya berfungsi sebagai alat transportasi air pada masa dahulu, tetapi juga menjadi bukti nyata kemampuan masyarakat Jambi dalam mengolah kayu dengan teknik tradisional tanpa mesin modern.

Jumri, pengelola Koleksi Museum Siginjai, menyebut perahu lajur sebagai salah satu koleksi penting yang masuk dalam Klasifikasi Koleksi Nomor 3, yaitu kelompok alat transportasi tradisional. Menurutnya, perahu ini bukan sekadar benda lama yang dipamerkan, tetapi membawa cerita panjang tentang perjalanan budaya masyarakat Jambi, terutama masyarakat yang tinggal di daerah sungai.

“Dari total 7.893 koleksi yang ada di museum, semuanya terbagi menjadi sepuluh klasifikasi. Salah satunya adalah klasifikasi transportasi tradisional, dan perahu lajur ini masuk ke kelompok itu,” ujar Jumri.

BACA JUGA:Museum Siginjei Jambi Menyimpan Koleksi Arca Bhairawa, Masterpiece yang Melambangkan Sebuah Kekuasaan

Perahu lajur yang kini terpajang di Museum Siginjai merupakan perahu tradisional yang dibuat sepenuhnya dari kayu balam, sejenis kayu keras yang terkenal tahan air dan kuat. Perahu ini memiliki panjang sekitar 15 meter dan dibuat dari satu batang kayu utuh, tanpa sambungan sama sekali. Keunikan inilah yang menjadikan perahu ini sangat istimewa.

Teknik pembuatan perahu pada masa lalu sama sekali tidak menggunakan mesin modern seperti gergaji mesin (chainsaw). Sebaliknya, masyarakat dahulu hanya mengandalkan alat tradisional, yaitu beliung dan perda. Proses pembuatannya pun membutuhkan waktu berbulan-bulan, bahkan dilakukan oleh beberapa orang sekaligus.

“Membuat perahu sepanjang ini tidak mungkin dilakukan satu orang. Bisa dua sampai tiga orang. Orang-orang zaman dulu pergi pagi pulang sore, membawa bekal nasi untuk bekerja di dalam hutan,” kata Jumri.

Prosesnya dimulai dengan menebang pohon dari pangkal, lalu memotong bagian ujung sesuai panjang yang diinginkan. Setelah batang kayu utuh didapatkan, penyalinan bentuk perahu dilakukan dengan cara mengrokak bagian dalam. Pengerokan dimulai dari tengah batang kayu, kemudian dihaluskan menggunakan beliung dan perda.

BACA JUGA:Berikan Pelatihan Dan Jelajah Samsara Living Museum, BI Jambi Ajak Wartawan ke Bali Ikuti Capasity Building

“Setelah bagian atas dikrokak, kayu itu ditelungkupkan lalu dikrokak lagi dari bagian bawah untuk membentuk bagian lambung. Perlahan-lahan dibentuk sesuai bentuk yang diinginkan. Teknologi tradisional seperti ini yang membuat perahu ini punya nilai budaya tinggi,” jelasnya.

Di bagian depan perahu, terdapat ukiran berbentuk kepala angsa, yang merepresentasikan Angso Duo, simbol kebanggaan masyarakat Jambi. Ornamen ini menunjukkan bahwa perahu tidak sekadar alat transportasi, tetapi juga membawa identitas budaya.

Perahu lajur yang dipajang ini dulunya dimiliki oleh almarhum Hasan, salah satu kolektor budaya yang sangat dikenal di Jambi. Ketika museum berupaya menambah koleksi tradisional khas daerah, keluarga Hasan memberikan perahu ini agar dapat dirawat dan dipamerkan untuk masyarakat umum.

BACA JUGA:Wawancara Bersama Mariani Yanti Kadis Pariwisata, Kota Jambi Pilot Project Literasi Ditetapkan UNESCO

Nilai simbolik dan sejarah perahu semakin kuat ketika melihat kondisi fisiknya. Selain dibuat dari kayu utuh, bagian dalam perahu memiliki penyanggah dan batang besi yang berfungsi menjaga keseimbangan agar perahu tidak berat sebelah. Bangku-bangku kecil di bagian dalam menunjukkan bahwa perahu ini dapat diisi oleh beberapa orang sekaligus.

“Di ujung perahu itu ada tempat duduk yang bisa dimuat satu orang. Bagian belakang bisa dua orang, dan bagian tengah bisa sampai tiga orang. Untuk menggerakkan perahu sepanjang ini pasti butuh dua orang di bagian depan dan belakang,” jelas Jumri.

Sebelum akses jalan darat berkembang, sungai merupakan jalur utama transportasi masyarakat Jambi. Sungai Batanghari menjadi penghubung antara kampung, ladang, pasar, dan pusat kegiatan masyarakat. Karena itu, perahu lajur memegang peranan besar dalam kehidupan sehari-hari.

Perahu kecil biasanya digunakan untuk membawa hasil panen seperti jagung dan padi dari ladang di seberang sungai. Namun perahu panjang seperti ini digunakan untuk gotong royong, kegiatan perdagangan, hingga mengangkut barang dalam jumlah besar.

“Kalau yang kecil itu untuk petani membawa hasil panen. Tapi kalau yang panjang seperti ini biasanya dipakai pedagang atau untuk gotong royong, supaya sekali angkut bisa banyak,” jelas Jumri.

Menariknya, masyarakat zaman dulu tidak mengecat perahu ini. Mereka memilih membiarkan perahu polos atau melapisinya dengan minyak tar atau oli agar lebih tahan lama. Hal ini dilakukan agar serat kayu tetap kuat dan tidak mudah retak.

BACA JUGA:Festival Batanghari 2025 Usai, Gubernur Al Haris Targetkan Peningkatan Wisata dan Ekonomi Daerah

Namun seiring bertambahnya usia, perahu-perahu tradisional ini perlahan mulai rusak karena faktor alam dan penggunaan. Banyak perahu lajur lain yang ditemukan dalam ukuran kecil, namun perahu sepanjang 15 meter yang masih utuh seperti ini sangat jarang ditemukan.

“Perahu seperti ini banyak kita temukan di daerah Muaro Jambi, tapi yang berskala kecil. Yang sepanjang ini alhamdulillah masih utuh dan bisa kita rawat di museum,” tambahnya.

Perahu lajur dipajang di teras Museum Siginjai bukan sekadar untuk dekorasi, tetapi memiliki tujuan edukatif yang sangat penting. Menurut Jumri, anak-anak zaman sekarang lebih mengenal transportasi modern seperti motor, mobil, atau kapal besar. Banyak dari mereka bahkan tidak mengetahui bahwa perahu tradisional pernah menjadi alat transportasi utama di Jambi.

“Tujuannya supaya anak-anak sekarang lebih tahu bagaimana budaya nenek moyang mereka. Dulu orang membawa ikan, menyebrang sungai, mengangkut barang, semua menggunakan perahu. Ini transportasi air yang sangat penting,” jelasnya.

BACA JUGA:Beragam Kegiatan Digelar Di Taman Budaya Jambi

Museum berharap keberadaan perahu ini dapat menjadi bahan pembelajaran bagi pengunjung umum, pelajar, hingga peneliti. Mereka tidak hanya melihat bentuk perahu, tetapi juga memahami proses pembuatannya, fungsi sosialnya, serta nilai budaya yang melekat di dalamnya.

Sebagai warisan budaya, perahu lajur mengingatkan bahwa masyarakat Jambi memiliki sejarah maritim yang kuat, meskipun kini transportasi sungai tidak lagi menjadi jalur utama. Perahu ini menjadi bukti bahwa inovasi, ketahanan, dan kreativitas masyarakat sudah hadir jauh sebelum teknologi modern berkembang.

Kini, perahu lajur tersebut berdiri kokoh di teras Museum Siginjai sebagai saksi bisu perkembangan transportasi air di Jambi. Keberadaannya menjadi pengingat bahwa kebudayaan tradisional bukan sekadar cerita masa lalu, tetapi identitas yang harus terus dijaga.

Melalui koleksi ini, Museum Siginjai berharap pengunjung semakin memahami kekayaan budaya daerah dan menyadari pentingnya melestarikannya untuk generasi mendatang. Perahu lajur bukan hanya sekedar alat transportasi, tetapi juga simbol kegigihan, gotong royong, dan kecakapan masyarakat Jambi di masa lalu.

BACA JUGA:Bupati Muhammad Fadhil Arief Buka Kegiatan Jambore Kwarcab Gerakan Pramuka Batang Hari

 

Kategori :