Reformasi dalam institusi polisi datang pasca-pemilu 2024 yang menyisakan kesan kuatnya peran polisi dalam politik. Termasuk datang dari stigma polisi yang represif dalam penanganan demo, dan aktivitas kebebasan yang dikemukakan.
Presiden Prabowo akan dinilai sukses jika berhasil melakukan reformasi hingga mengembalikan kepercayaan pada institusi polisi. Namun jika Presiden tidak mampu berbuat banyak dan Kapolri tetap Jenderal Listyosigit atau sosok yang disiapkannya, maka pemerintah Prabowo akan dianggap “tidak solid” dan tidak tegas, lebih banyak omon omon.
Artinya perkembangan dari peristiwa ini penting sebagai tanda soliditas kekuasaan Presiden dan hubungannya dengan institusi Polisi. Prabowo ingin mereformasi polisi lewat kebijakannya, agar memperkuat dukungan dan legitimasinya sebagai presiden hingga tahun 2029. Tapi keinginan politik itu tampaknya tidak suka. Disitulah kemudian Listyo Sigit dan kekuatan di belakangnya memunculkan peran bottom-up seolah tidak kalah tanggap.
Makna politik terbesarnya adalah menguji apakah Polri bisa direformasi tanpa konflik internal, atau justru jadi arena perebutan pengaruh antara kekuatan kelompok jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jokowi di satu sisi, "menghadapi" Presiden Prabowo bersama kekuatan yang menginginkan reformasi Polisi secara menyeluruh di sisi yang lain.
OK kita pantau apa yang akan dilakukan Presiden dan perkembangan kedua tim dalam 2-3 minggu ke depan. Apa ada sinergi di antaranya, atau mereka jalan sendiri karena memiliki tujuan dan pemrakarsa yang berbeda.
(Prof Henri Subiakto adalah Guru Besar FISIP Universitas Airlangga, dan Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia)